
Para "tetua" atau orang yang dituakan di desa tersebut menjadi "wasit" festival ciuman ini. Jika para "tetua" memberi aba-aba mulai, kedua kelompok yang saling berhadap-hadapan ini menunjuk salah satu wakilnya untuk diarak ke depan dan beradu ciuman dengan wakil dari kelompok lain. Biasanya jika sudah terjadi adu mulut, peserta pria lebih bernafsu melumat bibir "lawan"-nya yang tampak malu-malu tapi mau.
Untuk menghindari ciuman semakin panas, para tetua dibantu panitia mengguyurkan air kepada seluruh peserta omed-omedan. Namun, tak hanya peserta, para penonton, fotografer dan kamerawan yang mengambil gambar terlalu dekat juga harus rela diguyur dengan air satu ember.

Menurut berita yang Bi2t.Com kutip dari Kompas, Ayu Prambandari, salah seorang peserta omed-omedan, sempat merasa canggung saat berciuman dengan peserta pria karena tidak saling kenal. ”Deg-degan sih, kan kaget dapetnya sama siapa. Kalau di sini kami tidak tahu ciuman sama siapa jadi agak canggung, kalau sama pacar kan beda," kata gadis berusia 20 tahun ini.
Ayu yang sudah 7 kali mengikuti omed-omedan ini mengaku antusias menjadi peserta karena ingin melestarikan budaya yang telah diwariskan secara turun temurun ini. "Orangtua kami dulu kan juga ikut, ini sudah adat takutnya entar kalau enggak ikut ada apa-apa," ujarnya.
Tradisi omed-omedan ini dimulai pada abad ke-17. Sebelumnya tradisi ini dilakukan saat hari raya Nyepi. Namun, pada tahun 1978 diputuskan untuk menggantinya pada saat Ngembak Geni atau sehari setelah Nyepi. "Tradisi ini hanya luapan kegembiraan teruna teruni pada saat melakukan omed-omedan di hari Ngembak Geni," kata I Gusti Ngurah Oka Putra, tokoh masyarakat Banjar Kaja.
Selain bentuk penghormatan terhadap leluhur, omed-omedan digelar untuk semakin meningkatkan rasa kesetiakawanan dan solidaritas antarwarga khususnya para pemuda dan pemudi.